Sabtu, 10 Oktober 2015

KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?
Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.
Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.
Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”
Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”
“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”
Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:
(يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubat ayat 32)
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”
Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.
Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”
Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.
Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Bawa ke Indonesia.”
Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.
Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.
Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”
Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). “Arrahman Arrahim…”
Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”
“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”
Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?”
“Sudah Kyai.”
“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?”
“Tahu.”
“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”
“Tidak. Pernah sowan.”
“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”
“Ya, kyai.”
“Kamu punya uang?”
“Tidak punya, kyai.”
“Ini.”
Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”
“Ada kyai.”
“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”
Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”
Ada yang lain bilang: “Ini wali.”
Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.
Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.
Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?”
“Saya, Kyai.”
“Anak mana?”
“Dari Madura, Kyai.”
“Siapa namanya?”
“As'ad.”
“Anaknya siapa?”
“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”
“Anaknya Maimunah kamu?”
“Ya, Kyai”
“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”
“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.”
“Tongkat apa?”
“Ini, Kyai.”
“Sebentar, sebentar…”
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”
Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”
Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Cukup uang sakunya?”
“Cukup, Kyai.”
“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”
“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”
Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak, Kyai.”
“Hasyim Asy'ari?”
“Ya, Kyai.”
“Di mana rumahnya.”
“Tebuireng.”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.”
“Ya, benar. Di mana Keras?”
“Di baratnya Seblak.”
“Ya, kok tahu kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Ini tasbih antarkan.”
“Ya, Kyai.”
Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke sini, makan dulu!”
“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”
“Dari mana kamu dapat?”
“Saya beli di jalan, Kyai”
“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”
“Ya, Kyai.”
Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”
“Cukup, Kyai.”
“Tidak!”
Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.
“Ini.”
Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?”
“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”
“Ya, kalau begitu.”
Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.
Ada yang narik: “Karcis! karcis!”
Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.
Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: “Apa itu?”
“Saya mengantarkan tasbih.”
“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”
“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).
“Lho?”
“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”
Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”
“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal. Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.
Catatan:
*File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jum’at 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialih bahasakan oleh Kiai Ma'ruf Khozin. Diedit ulang oleh Gus Sya'roni As Samfuriy, Tegal 18 Februari 2013.
**Sumber: FB Fan Page "Kumpulan humor "Gus Dur" yang bisa membuat orang tertawa lepas...."
Copas : http://www.ipnutrenggalek.or.id/2013/07/Pidato-Kesaksian-KH.-Asad-Syamsul-Arifin-Tentang-Berdirinya-Nahdlatul-Ulama.html

Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy'ari

Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku "NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam", melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

Tongkat “Musa”

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual

Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.

Penulis:
Moh. Syaiful Bakhri
Penulis buku "Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura" dan sekretaris Lajnah Ta'lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.

Salinan dari web : http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/kilas_sejarah_pendirian_nu.single?seemore=y

 

Jumat, 02 Oktober 2015

Nahdlatul Ulama adalah merupakan jam’iyah yang didirikan di Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Pertemuan itu, dihadiri oleh ulama se Jawa dan Madura dan diprakarsai oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang sekaligus sebagai tuan rumah.


Lambang

Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan “Lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.”
Arti Lambang

a. Gambar bola dunia
melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.
b. Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia
melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik Indonesia.
c. Tali yang tersimpul
melambangkan persatuan yang kokoh, kuat;
Dua ikatan di bawahnya merupakan lambing hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan;
Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna.
d. Sembilan bintang yang terdiri dari lima bintang di atas garis katulistiwa dengan sebuah bintang yang paling besar terletak paling atas,
melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan Rasulullah;
Empat buah bintang lainnya melambangkan kepemimpinan Khulaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Empat bintang di garis katulisitiwa melambangkan empat madzab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan) melambangkan sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa.
e. Tulisan Arab “Nahdlatul Ulama”
menunjukkan nama dari organisasi yang berarti kebangkitan ulama. Tulisan Arab ini juga dijelaskan dengan tulisan NU dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama.
f. Warna hijau dan putih
warna hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian. 

Sumber :https://tunas63.wordpress.com/2008/11/22/lambang-nahdlatul-ulama-nu-dan-maknanya/

Rabu, 16 September 2015

             Warta MWC NU: Jakenan Pada hari sabtu s/d Ahad tanggal 5-6 September 2015 MWCNU Kec Jakenan mengadakan Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU). Jakenan menjadi MWC NU pertama yang telah melakukan PKPNU ini.
“Dari panitia sangat bersyukur sekali dengan terlaksananya PKPNU ini, persiapannya bisa di bilang sangat cepat hanya dalam kurun waktu satu minggu saja, namun alhamdullah pesertanya banyak meskipun tak sesuai target awalnya.”jelas Kharisun ketua panitia.
         Pada waktu pembukaan yang ikut hadir yaitu ketua dan pengurus ranting Nahdlatul Ulama Se Kecamatan Jakenan. Warga sekitar begitu antusias dengan adanya pendidikan kader ini. Harapannya semoga kader-kader yang nantinya di karantina selama dua hari dua malam akan lebih bersemangat di dalam menjalankan roda organisasi Nahdlatul Ulama.
            Yang menjadi Instruktur harus alumni Pendidikan kader Nahdlatul Ulama, baik tingkat kabupaten atau pun tingkat wilayah dan pusat. Materi yang disampaikan harus sama dari pusat, jadi tidak ada perbedaan materi. Dengan begitu semangat menjadi faham ahlussunah dan keutuhan NKRI menjadi harga mati.
            Ada enam instruktur yang memandu acara PKPNU Jakenan,  Abdul Karim,Yusuf Hasyim, Ratna Andi Irawan, Jamal Makmur Asmani, Faiz Aminuddin, Zaim Jaelani dan Khairun Niam, Nur Kholiq. kesemuanya itu adalam para alumni PKPNU.
“Acara berakhir Ahad malam dan para kader akan membuat sebuah grup di jejaring sosial untuk mempererat, dan menambah wacana.”ujar Kharisun.
           Jadwal PKPNU tingkat MWC berikutnya adalah MWC. Trangkil dan MWC Sukolilo tanggal 25-26 Sept 2015, disusul bulan oktober MWC Tayu, Wedarijaksa dan Gunungwungkal.

(Sumber:http://www.pcnupati.or.id/2015/09/jakenan-pelaksanaan-pkpnupertama.html#.VfL1YtsdWFs.twitter.)
 
         Peserta PKPNU dari Ranting Ngastorejo diwakili oleh Kang Sumartono (Bendahara NU Ranting Ngastorejo ) dan Kang Ahmad Kasturi ( Sekretaris ).
            Setelah mereka berdua mendapatkan pelatihan dari MWC insya Allah pada bulan Oktober 2015 mereka akan minta izin kepada Kepala Desa, syuriah dan Ketua Tanfidziah Ranting berupa Buletin yang di terbitkan setiap hari Jum'at dengan nama " BULETIN NAHDLATUL 'ULAMA' RANTING NGASTOREJO" yang isinya mengenai Islam dan NU. Menurut mereka, Penyampaian melalui tulisan ( berupa lembaran buletin ) mudah diterima dan dipahami karena bisa di baca berulang - ulang dari pada disampaikan melalui lisan.
 



Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Sumber : NU Online